SEPULUH tahun lebih dia melakoni hidup sebagai penanam bibit bakau. Ratusan ribu bibit yang dikembangbiakkannya kini, sudah tumbuh menjadi benteng hijau di pesisir Aceh, menghadap Selat Malaka dan Samudra Hindia, yang pernah hancur diterjang gelombang tsunami, 2004 silam.
Adalah Azhar yang dikenal kalangan pegiat lingkungan hidup sebagai pembudidaya bibit bakau (mangrove) di Aceh. Dia seorang petani tambak berumur 50 tahun. Kulitnya hitam legam karena terpapar mentari. Ayah tiga putra ini dikenal sebagai orang yang paham bakau sehingga banyak yang mencarinya.
Suatu siang berudara panas, saya mendatangi Azhar di desa tempat tinggalnya di Lam Ujong, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar, Aceh, yang berjarak 10 kilometer dari Kota Banda Aceh. Dia sedang menanam bibit bakau bersama lima perempuan dan seorang lelaki yang merupakan warga setempat, dibina Azhar paska tsunami. Hari itu, mereka menanam di sepanjang pematang tambak, membentuk barisan rapi.
Tak jauh dari tempat mereka menanam, ada deretan bakau besar yang tumbuh subur di tengah petak tambak lain. Tingginya seatap rumah. Azhar mengatakan, pohon itu ia tanam 10 tahun lalu, saat ia kampungnya luluh lantak dihantam tsunami.
Akar-akar bakau itu seperti kumpulan jari mengembang, mencengkram kokoh ke dalam air. Di sela akar itulah udang dan ikan berkembang biak. Para pemilik tambak di Lam Ujong senang dengan pepohonan bakau yang ditanam Azhar karena hasil panen udang dan ikan lebih menjanjikan.
Akar dan batang pohon bakau juga menjadi tempat hidup cangkang tiram yang merupakan sumber mata pencaharian perempuan Desa Lam Ujong, yang diajak Azhar menanam bakau. Mereka tahu betul manfaat bakau untuk kelangsungan ekonomi keluarga.
Azhar bercerita, desanya sejak dulu merupakan tempat budidaya tambak udang dan garam. Jaraknya dari laut hanya satu kilometer. “Dulu, daerah kami penuh bakau yang memang tumbuh alami. Sebagian hilang disapu tsunami. Tersisa beberapa bakau tua yang batang dan akarnya sangat kuat. Saya melihat, di akar bakau itu banyak tersangkut bahan bangunan. Dari situ, saya yakin bakau merupakan benteng kokoh yang membuat air tsunami tidak membawa kehancuran lebih jauh.”
Azhar dan keluarganya merupakan sedikit dari warga Desa Lam Ujong yang selamat saat tsunami. Saat itu, mereka menyelamatkan diri menaiki pohon beringin yang tumbuh tak jauh dari rumah mereka.
“Semua tak bersisa di kampung kami. Hanya ada beberapa batang pohon kelapa, beringin dan juga bakau tua. Mayat berserakan. Saya takut sekali,” kenangnya.
Beberapa bulan kembali ke kampungnya dan hidup di tenda pengungsian, Azhar menjadi pengangguran. Dia belum dapat mengelola tambak udangnya yang hancur.
“Saya pikir, ketimbang stres berdiam, lebih baik mencari buah pohon bakau tua tersisa yang tumbuh di dekat sungai. Saya sebagai petani tambak punya harapan besar bakau tidak punah.”
Saban hari, Azhar bisa mengumpulkan 1.000 hingga 2.000 buah bakau yang dibawanya ke tenda pengungsian. “Tiap hari saya dimarahi istri: orang lain cari uang, kamu cari bakau,” paparnya.
Orang-orang menganggapnya gila, karena kerjanya hanya mengumpul buah bakau, namun ia tidak peduli. Azhar justru memijam uang pada salah seorang kenalannya untuk membeli polybag. Dalam waktu enam bulan, Azhar punya bibit bakau sekitar 30 ribu batang dan dia sendiri tak tahu mau diapakan bibit sebanyak itu.
“Saya pikir, tadinya ditanam sendiri di kampung, tapi kebanyakan.”
Hingga di penghujung 2006, seorang staf dari Wetlands, LSM yang bekerja untuk program rehabilitasi pesisir Aceh yang rusak akibat tsunami, datang untuk membeli bibit bakaunya. Azhar juga diajak menanam. Tidak hanya di Lam Ujong, tapi juga di desa lainnya di Aceh Besar, bahkan bibitnya dibawa ke kabupaten lain.
Azhar pun mengajak para perempuan, janda korban tsunami, di kampungnya untuk menanam bakau yang dibiayai oleh beberapa LSM seperti Wetlands, Palang Merah Jepang, WWF, dan Mercy Corp.
Sampai sekarang, Azhar masih membina dua kelompok perempuan di kampungnya.
Sekarang, Desa Lam Ujong dikenal sebagai sentra pembibitan bakau. Azhar menjual bibit Bak Bangka, biasa Orang Aceh menyebut bakau, dari jenis Macronata, Apiculta dan Avecennia. “Saya sudah tidak bisa hitung, berapa bibit yang sudah saya tanam. Hampir semua bibit di pesisir Aceh paska tsunami, berasal dari tempat saya,” kata Azhar.
Karena dedikasinya menanam bakau di kawasan tsunami, tahun 2008, Azhar dipilih dan dibawa WWF-Indonesia ke Jakarta untuk menjadi salah satu pelari yang membawa obor api Olimpiade Beijing. Ia berlari bersama tokoh lingkungan Emil Salim dan Nugie serta Nirina Zubir.
“Saya dulu tidak tahu perihal bakau. Sekarang, saya belajar banyak. Manfaatnya untuk kelestarian pesisir dan menjadi penahan kuat air tsunami. Hal lainnya, saya bisa berkenalan dengan pejabat sampai artis di Jakarta,” ujarnya tertawa.
Jika berkunjung ke Lam Ujong, kita tidak akan melihat wilayah gersang. Desa itu sudah rimbun pepohonan, terutama bakau yang mulai menjulang di dekat tambak dan sungai. Pohon bakau tua yang tersisa saat tsunami, masih berdiri kokoh dekat sungai. Pohon-pohon itulah yang memberikan buahnya untuk ditanam Azhar kembali. (net)
0 Response to "Awalnya Azhar Dianggap Gila"
Posting Komentar