Akibatanya, sebagaimana diceritakan dalam buku "Anregurutta Ambo Dalle Lentera dari Tanah Bugis", seluruh anggota DI/TII akhirnya menyingkir ke daerah selatan, Suli dan Siwa. (25 Tahun Kod XIV Hn, 1982:356).
Selanjutnya Pasukan DI/TII menjadikan Awo, sebagai markas menggantikan Bajo karena letaknya yang jauh dan terpencil sehingga dianggap aman dari operasi TNI. Awo sendiri adalah sebuah wilayah di sebelah barat Keera/Kaluku arah Gunung Latimojong.
Di tempat ini diadakan suatu pendidikan yang disebut "kader forming" yang diikuti seluruh perwira DI/TII, termasuk Abdul Kahar Muzakkar. Di tempat ini juga dilaksanakan Komperensi PUPIR III (Pertemuan Urgentie Pedjuang Islam Revolusioner Ke-III) tanggal 14 Mei 1962 yang dihadiri toko-toko penting DI/TII.
Dalam konprensi ini dirumuskan konsep Adul Kahar Muzakkar yang baru. Yaitu berdirinya Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII) dan mengangkat Kahar Muzakkar sebagai pejabat Khalifah dan Gurutta Ambo Dalle sebagai Mentri Pendidikan.
Di tempat inilah tercipta beberapa permufakatan tentang manajemen dan strategi perjuangan serta hukum-hukum Islam termasuk di dalamnya bagaimana meng-istimbath hukum dari Alquran dan Sunnah (hukum pidana, perdata, dan revolusi Islam) yang menghasilkan hukum mati/qisas, potong tangan, rajam, dan sebagainya.
Di sini pulah lah terjadi perdebatan terbuka yang seru antara Gurutta K.H. Abdurrahman Ambo Dalle dan kawan-kawan dengan K.H. Marzuki Hasan dan K.H. Maksum, penasehat spritual Kahar yang berasal dari Solo Jawa Tengah.
Memang beberapa lama sejak diculik dan Gurutta berada di tengah-tengah Ulama DI/TII, muncul konflik yang berkaitan dengan faham keagamaan yang dianut Gurutta yaitu Ahlussunnah Waljamaah. Kali ini, perbedaan itu sudah mengarah ke konflik terbuka. Terutama yang terkait dengan masalah poligami. Akibatnya, K.H. Maksum dan kelompoknya menganggap perlu menpatkan Gurutta di tempat yang terpisah dengan mereka.
Selanjutnya, pertentangan demi pertentangan dialami Gurutta dengan ulama DI/TII yang lain. Gurutta menganut mazhab Syafii, sementara ada sebagian ulama dan anggota pasukan DI/TII tidak menghiraukan mazhab.
Misalnya, Abdul Kahar Muzakkar berdasarkan fatwah Kyai Ma'sum membolehkan pria menikahi wanita sampai 9 orang. Kebijakan izin poligami ini tidak hanya ditentang oleh Gurutta, tetapi juga oleh pemimpin DI/TII lainnya, Letkol TII Bahar Mattaliu yang jauh sebelumnya telah mengeluarkan Manifesto Tahun 1376 H yang berisi larangan melakukan poligami semacam itu.
Anjuran berpoligami dilkukan oleh para pemimpin DI/TII yang disetujui Abdul Kahar Muzakkar, agar anggota pasukannya mengawini janda-janda syuhada, mempermudah kawin dan tidak boleh menolak lamaran kecuali karena alasan yang dapat dibenarkan, sebagai bagian dari "Program Islam Revolusiaoner" yang menyangkut "Memjamin Kesedjahteraan Sosial Masjarakat Revolusi dan Keluarga Sjuhada".
Ketidak setujuan Bahar Mattaliu dalam hal poligami, disamping berbagai kebijakan Kahar lainnya, serta adanya Dekrit Presiden Soekarno untuk kembali ke UUD 1945 menjadi salah satu pemicu ia menyerahkan diri ke pangkuan ibu pertiwi pada tanggal 12 September 1959 yang diikuti 12.734 pasukannya sampai tanggal 20 Oktober 1959 dengan senjata 2.056 pucuk serta 27.573 keluarga dan 390.000 rakyat dari daerah yang dikuasainya.
Ia menilai perjuangan Kahar Muzakkar sudah menyimpang dari cita-cita semula. Padahal, saat itu Bahar Mattaliu menjabat Panglima Komando Wilayah Sulawesi Selatan (KWSS)/Divisi "40.000" Tentara Islam Indonesia (TII).
Sumber: Anregurutta Ambo Dalle Lentera dari Tanah Bugis
0 Response to "Poligami Pemicu Konflik Internal Pasukan DI/TII Kahar Muzakkar"
Posting Komentar