Persoalannya sebuah karya seni terutama musik, tidak selesai sebatas ditelinga para penikmatnya. Kita lalu mengenal istilah Idola (yang suatu ketika bisa diartikan sesembahan). Parahnya tidak sedikit para pengidola tersebut seakan buta dan lupa bahwa sang idola adalah manusia biasa sehingga apapun yang dilakukan idola seakan suatu keharusan untuk diikuti. Kesadaran mereka manusia biasa ada setelah membela mereka karena tersangkut perbuatan asusila.
Kita lalu menyaksikan model dan gaya rambut atau pakaian idola tertentu dalam sekejab merambah kedalam model dan gaya masyarakat luas terutama remaja dan tak sedikit dewasa(tua).
Kecendrungan manusia untuk meniru disadari betul oleh mereka yang memproduksi apapun yang akan dijejalkan kemasayarakat.Efeknya tentu akan berbeda seratus delapan puluh derajat bila yang menggunakan suatu jenis pakaian atau perhiasan tertentu misalnya adalah saya. Tentu tidak ada yang tertarik mengikuti walau jelas bagus dan tidak diragukan boleh tidaknya. Dibanding bila seorang Pasha Ungu misalnya. Sekalipun secara langsung ia tidak pernah menganjurkan. Namun dengan hanya tampil sekilas dilayar kaca esoknya atau saat itu juga dijalan sudah ramai.
Semua orang tentu pernah melakuka kesalahan. Yang fatal sekalipun. Tetapi mengtakan mereka yang terlalu menyudutkan dan menuntut para pelaku tindakan asusila untuk diadili dan menilai hukum masyarakat yang melakukan pengucilan dengan segala expresinya terhadap para pelaku, sebagai perbuatan munafik tentu tidak bisa diterima. Sebab bukan berarti karena semua pernah berbuat salah lantas perbuatan jahat itu mandapat tempat apalagi pembenaran. Kejahatan yang semakin bebas merajalela tidak lepas dari sikap permisif dan individualis warga masyarakat.
Ingat kejahatan terjadi karena dua situasi, ada niat dan ada ksempatan. Niat ada namun kesempatan belum ada, sedikit kemungkinan kejahatan itu terjadi. Akan tetapi bila kesempatan terbuka lebar ditambah tidak ada kehawatiran mendapat tantangan masyarakat, hati setiap saat bisa berubah.
Memintai maaf itu harus. Namun maaf saja tidak cukup. Apalagi bila lagi dan lagi berulang dilakukan. Aturan formal pemerintah dan hukum asyarakat, kita perlukan demi menjaga nilai kemanusiaan itu. Mengapa karena manusia bebas untuk lakukan apa saja. Namun, yakin manusia tak satupun yang menginginkan dirinya tak lebih dari seekor ayam yang asal nyerocos saja begitu ada kesempatan.
Apa jadinya bila semua orang yang melihat kesalahan dilaukan, berkata : " yah... mereka kan manusia biasa, tempatnya salah... wajar dong... besok-besok juga boleh jadi kita pelakunya," lalu acuh pada segala bentuk dan para pengumbar kejahatan. Besok-besok yang salah tetap harus mendapat ganjaran. Sipapun itu. Entah saya, dia, Kamu, mereka, kita, kami, SEMUA.